Selasa, 17 Januari 2017

EFEKTIVITAS PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI LAHAN BASAH PESISIR TELUK TAMIANG


I. PENDAHULUAN

1.1.       Latar Belakang
Lahan basah pesisir menurut definisi dalam Konvensi Ramsar adalah daerah di pesisir yang tergenang air baik secara periodik maupun terus menerus termasuk perairan laut hingga kedalaman tidak lebih dari 6 meter saat surut terendah. Berdasarkan definisi tersebut yang termasuk dalam lahan basah pesisir meliputi mangrove, padang lamun, terumbu karang, dataran pasir dan lumpur, pantai berbatu, estuaria, rawa air tawar, rawa gambut pesisir, laguna, dan berbagai jenis lahan basah buatan.  Luas lahan basah pesisir Indonesia yang memiliki nilai penting secara internasional tidak kurang dari 15 juta hektar, separuh dari luas seluruh daratan Malaysia (Komite Nasional Pengelolaan Lahan Basah, 2004).  Dengan jumlah tersebut Indonesia termasuk sebagai salah satu negara yang memiliki lahan basah pesisir terluas di Asia.
Lahan basah pesisir memiliki nilai penting secara ekologis, ekonomi, sosial dan budaya.  Secara ekologis, daerah ini kaya akan nutrien yang menyebabkan banyak organisme yang melewati sebagian atau seluruh siklus hidupnya di lahan basah pesisir.  Lahan basah pesisir Cagar Alam Hutan Bakau Timor di Jambi misalnya, setiap tahunnya disinggahi sekitar 20.000 burung migran dalam perjalanan migrasinya dari wilayah belahan bumi utara ke Australia dan Selandia Baru (National Wetlands Committee for SCS Project, 2004).  Termasuk diantaranya burung air langka Trinil Lumpur Asia (Asian Dowitcher) yang dimasukkan dalam kategori jarang dalam daftar International Union on Coservation of Nature and Natural Resources (IUCN).
Secara ekonomi lahan basah pesisir menjadi tempat hidup berbagai spesies yang memiliki nilai ekonomis penting sebagai sumber pangan atau sebagai bahan baku industri.  Sebuah studi nilai ekonomis yang dilakukan oleh Wetlands International–Indonesia Programme (WIIP) terhadap Taman Nasional Sembilang menunjukkan bahwa nilai penggunaan langsung kawasan tersebut mencapai US$ 15.000.000 per tahun (Goenner dan Wibowo, 2002).  Nilai-nilai ekonomi tersebut juga dapat menjadi lebih penting lagi karena posisinya yang strategis sehingga menjadi jalur pelayaran penting, terutama di daerah estuari.
Secara sosial budaya lahan basah pesisir telah menjadi pilihan tempat bermukim masyarakat sejak ratusan tahun silam sehingga masyarakat membentuk karakteristik sosial yang khas untuk beradaptasi dengan lingkungan lahan basah pesisir.  Hal tersebut ditunjukkan oleh munculnya berbagai tradisi, kesenian, termasuk cerita rakyat yang berhubungan dengan lahan basah pesisir.
Potensi lahan basah pesisir yang dimiliki Indonesia yang sedemikian besarnya tidak lantas menyebabkan upaya pengelolaannya menjadi lebih baik.  Kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang terus menerus terganggu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kelemahan pengelolaan tersebut.  Akibatnya lahan basah pesisir menjadi salah satu daerah yang sangat rentan dalam menghadapi kerusakan alam baik yang disebabkan oleh manusia seperti perubahan iklim, pemanfaatan berlebih, pencemaran dari darat maupun laut dan akibat bencana alam seperti tsunami dan badai (Komite Nasional Pengelolaan Lahan Basah, 2004).  Kondisi ini jika dibiarkan terus, secara langsung akan menjadi ancaman bagi manusia.  Hal tersebut disebabkan oleh karena fungsi dan nilai penting lahan basah seperti yang disebutkan di atas jika mengalami kerusakan akan menyebabkan lahan basah tidak bisa lagi menjadi system pendukung kehidupan sosial, ekonomi, dan ekologis.
Sebaliknya, lahan basah pesisir yang sehat akan mendukung penyediaan pangan bagi manusia, menyediakan lingkungan yang sehat, memiliki fungsi mitigasi terhadap bencana alam dan akan membantu manusia dalam beradaptasi terhadap perubahan lingkungan global.  Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa perlindungan dan pemanfaatan secara bijaksana terhadap lahan basah pesisir harus merupakan bagian penting dalam kegiatan manusia khususnya di sekitar pesisir teluk tamiang. 
1.2.       Tujuan dan Manfaat
1.2.1.   Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui status kawasan konservasi berdasarkan kondisi biologi, sosial,  ekonomi, dan tekanan dan ancaman yang dihadapi oleh kawasan konservasi di perairan teluk tamiang.
2. Mengkaji efektivitas pengelolaan kawasan konservasi berdasarkan nilai penting pada setiap siklus pengelolaan yaitu perencanaan, masukan, proses, dan keluaran.
3. Mengidentifikasi faktor-faktor yang dominan dan mempengaruhi efektivitas  pengelolaan kawasan konservasi di perairan teluk tamiang yang memiliki lahan basah pesisir.
4. Memberikan rekomendasi strategi yang efektif dalam pengelolaan kawasan  konservasi.
1.2.2.   Manfaat
Hasil penelitian ini akan memberikan gambaran kinerja pengelolaan kawasan konservasi yang memiliki lahan basah di perairan teluk tamiang.  Oleh sebab itu penelitian ini dapat membantu dalam melakukan evaluasi secara efektif terhadap pengelolaan sekaligus memberi masukan dalam perumusan kebijakan pengelolaan efektif kawasan konservasi yang memiliki lahan basah pesisir di sekitar perairan teluk tamiang.
1.3.       Ruang Lingkup Penelitian
          Penelitian ini lebih ditujukan untuk mengevaluasi pelaksanaan kebijakan pengelolaan kawasan 
konservasi secara keseluruhan pada ekosistem mangrove,lamun, dan terumbu karang di sekitar  
perairan teluk tamiang.  Oleh sebab itu, penelitian ini dibatasi pada evaluasi  terhadap pengelolaan di 
sekitar wilayah perairan teluk tamiang dengan menambahkan perhatian pada  isu tertentu.  Dengan 
demikian, hasil evaluasi pada penelitian ini akan menghasilkan rekomendasi kebijakan pengelolaan 
kawasan konservasi lahan basah disekitar perairan teluk tamiang.

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1.        Lahan Basah Pesisir
Istilah lahan basah resmi yang digunakan di Indonesia tercantum dalam Keppres mengenai ratifikasi Konvensi Ramsar.  Definisi tersebut adalah: “Daerah-daerah rawa, payau, lahan gambut, dan perairan; tetap atau sementara; dengan air yang tergenang atau mengalir; tawar, payau, atau asin; termasuk wilayah perairan laut  yang kedalamannya tidak lebih dari enam meter pada waktu surut.”  Lahan basah  ”dapat pula mencakup daerah riparian, wilayah pesisir di sekitar lahan pulau-pulau atau laut yang kedalamannya lebih dari enam meter pada surut terendah tetapi terletak di tengah lahan basah (Keppres No 48, 1991).
Beberapa produk kebijakan dan institusi yang bergerak dalam isu lahan basah sebagai kesatuan ekosistem masih belum menggunakan istilah/definisi lahan basah sebagai mana mestinya. Meski demikian definisi yang paling luas digunakan
terutama jika menyangkut kerjasama internasional adalah definisi Konvensi Ramsar (Komite Nasional Pengelolaan Lahan Basah, 2004).
2.2.       Kawasan Konservasi dan Fungsinya
Terdapat lebih dari 140 kategori kawasan konservasi yang dipakai di berbagai negara sehingga terdapat kesulitan dalam mengkomunikasikannya dari satu negara ke negara lain (IUCN, 1994).  Oleh sebab itu IUCN menyusun pengelompokan kawasan konservasi menjadi enam kategori seperti berikut:
1. Strict Nature Reserve/Wildernes Area
2. National Park
3. Natural Monument
4. Habitat/Spesies Management Area
5. Protected Landscape/Seascape
6. Managed Resource Protected Area
Istilah yang juga sering digunakan adalah Keputusan Presiden No 32 Tahun 1990 yang menggunakan istilah ”kawasan lindung” dan membaginya dalam 4 jenis yaitu:
1. Kawasan yang memberikan perlindungan di bawahnya
2. Kawasan perlindungan setempat 
3. Kawasan rawan bencana alam
4. Kawasan suaka alam dan cagar budaya.
2.1.       Pengelolaan Kawasan Konservasi yang Memiliki Kawasan Lahan Basah Pesisir
Pengelolaan kawasan konservasi yang memiliki lahan basah pesisir nasional, yang dalam tulisan ini disingkat ”kawasan konservasi”, berada dalam tanggung jawab pemerintah pusat yaitu Departemen Kehutanan.  Meski demikian, baik-buruknya kondisi dan pengelolaan kawasan konservasi juga sangat tergantung pada kondisi diluar kawasan konservasi yang pengelolaannya berada dibawah pemerintah daerah, departemen-departemen sektor lainnya dalam pemerintahan, kalangan swasta, dan masyarakat umum.  Dengan demikian tujuan pengelolaan kawasan konservasi tidak bisa berdiri sendiri tetapi mempertimbangkan kepentingan di daerah-daerah sekeliling kawasan konservasi.  Tujuan pengelolaan kawasan konservasi diturunkan dari kriteria fungsi  kawasan yang terdapat dalam Undang-undang No 5. Tahun 1990 yaitu sebagai pelindung sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati, dan pemanfaatan secara lestari.  Tujuan pengelolaan kawasan konservasi tersebut adalah (Nitibaskara, 2005):
1. Terwujudnya kegiatan pengelolaan kawasan konservasi dan potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya berazaskan kelestarian.
2.  Terjaganya fungsi kawasan konservasi yang optimal bagi kemakmuran  masyarakat di dalam dan di sekitarnya,
3. Terkendalinya keseimbangan populasi flora dan fauna hidupan liar dan proses-proses alami di dalam maupun di luar kawasan konservasi.
4. Terkendalinya pemanfaatan flora dan fauna hidupan liar, jasa wisata alam dan  lingkungan secara bijaksana dan berkelanjutan untuk kepentingan pembangunan
dengan melibatkan masyarakat di sekitar kawasan konservasi.
5. Terwujudnya pola kemitraan dalam pembangunan dan pengelolaan kawasan konservasi dan pemanfaatan potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistem yang terdapat di dalam kawasan konservasi.Secara umum keterkaitan berbagai isu dan pemangku kepentingan dalam pengelolaan kawasan konservasi lahan dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 1. Pengelolaan kawasan konservasi, sumber : Rudianto dan Sartono, 2004, Komunikasi Pribadi.
Gambar 1 menunjukkan bagaimana isu pengelolaan di tingkat nasional dan internasional dirangkum untuk menjadi kebijakan nasional pengelolaan sumberdaya hayati (Rudianto dan Sartono, 2004, Komunikasi Pribadi).  Kebijakan tersebut selanjutnya diadopsi dan dikembangkan menjadi kebijakan pengelolaan kawasan konservasi oleh Departemen Kehutanan.

2.1.       Efektivitas 

   Istilah ”pengelolaan kawasan konservasi yang memiliki lahan basah pesisir” atau disingkatpengelolaan kawasan konservasi, merupakan segala upaya sistematis yang dengan sengaja dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemangku kepentingan dalam mengelola lahan basah pesisir dalam kawasan konservasi.  Kegiatan pengelolaan bisa merupakan pelaksanaan atau aksi dari sebuah “kebijakan” dalam diagram analisis kebijakan Dunn (2003) yang berorientasi pada masalah. Prosedur  analisis kebijakan yang berorientasi pada masalah menggunakan metode pemantauan  dan evaluasi untuk memahami aksi kebijakan dan hasil-hasilnya.   Prosedur ini terletak di paruh sebelah kiri dalam diagram analisis kebijakan dan secara umum disebut sebagai analisis kebijakan yang bersifat retrospektif (Gambar2).  Prosedur pemantauan dan evaluasi dilakukan sebagai bagian dari analisis kebijakan untuk memahami ”apa  yang terjadi dan perbedaan apa yang dibuat”  dari sebuah kebijakan (Dunn, 2003).  Hal yang sama dilakukan dalam penelitian ini dengan melakukan evaluasi terhadap pengelolaan.  Secara umum, kegiatan pengelolaan sebagai aksi dan hasil-hasil kebijakan dapat digambarkan sebagai sebuah siklus dari 5 isu seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 3 meliputi: (1) Konteks yang berisi status dan ancaman yang kemudian melahirkan visi pengelolaan; (2) Perencanaan; (3) Masukan; (4) Proses pengelolaan; (5) Keluaran; dan (6) Hasil (Hockings et al., 2006).  Beberapa istilah-istilah pengelolaan kawasan konservasi dalam tulisan ini seperti konteks, keluaran, dan hasil adalah istilah yang diadopsi dari Bahasa Inggeris.  Istilah aslinya bisa ditelusuri dalam Daftar Istilah seperti disajikan dalam Lampiran 3.  Evaluasi efektivitas pengelolaan adalah hal yang mutlak diperlukan untuk mengetahui apakah kegiatan yang dilakukan telah berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip yang mendasari pengelolaan sehingga tujuan dapat dicapai atau tidak.  Evaluasi dirasakan semakin perlu belakangan ini ketika prinsip akuntabilitas menjadi isu yang tidak terpisahkan dalam hampir setiap kegiatan yang bersinggungan dengan kepentingan publik.
Gambar 2. Analisis kebijakan yang beriorentasi pada masalah,(Dunn,2003)
Pelaksanaan evaluasi efektivitas pengelolaan bukan hal yang mudah terutama ketika pihak pengelola menganggap proses evaluasi sebagai proses ”penyidikan” (Hockings et.al., 2006).  Oleh sebab itu, penting untuk menetapkan tujuan evaluasisebagai alat untuk membantu pengelola dalam pekerjaannya, bukan sebagai sebuah cara untuk memata-matai atau menghukum para pengelola yang kinerjanya kurang.
Gambar 3. Siklus pengelolaan dan evaluasinya,(Hockings.et.al,2006)
Semua pihak yang terlibat dalam proses evaluasi sebaiknya memahami bahwa evaluasi harus senantiasa dilihat sebagai sesuatu yang positif dan merupakan proses normal untuk mendukung kegiatan pengelolaan.  Bagaimanapun juga, lembaga donor, LSM, dan masyarakat umum, punya hak untuk mengetahui pencapaian sasaran dan tujuan pengelolaan kawasan konservasi.  Tidak bisa dipungkiri bahwa hasil evaluasi tersebut juga sangat dibutuhkan untuk tujuan-tujuan advokasi (Hockings et.al., 2006).  Oleh sebab itu terdapat paling tidak tiga tujuan evaluasi efektivitas pengelolaan yaitu: (1) Mempromosikan pengelolaan yang adaptif; (2) Meningkatkan kualitas perencanaan kegiatan; (3) Mempromosikan akuntabiltas.  Ketiga tujuan ini selanjutnya akan diupayakan tercapai secara utuh melalui hasil evaluasi yang dilakukan dengan baik.

METODOLOGI PENELITIAN
3.1.       Waktu Dan Lokasi Peraktek
Praktek lapang dilaksanakan pada Tanggal 28 –  1 Desember 2016 di Pesisir  Desa Teluk Tamiang Kecamatan Pulau Laut Tanjung Selayar Kabupaten Kotabaru  Provinsi Kalaimantan Selatan.
Gambar 4. Peta Lokasi Praktik Lapang Teluk Tamiang

3.1.       Metode Pengambilan Sampel
Praktik lapang ini merupakan kajian deskriptif – korelasional untuk menggambarkan secara sistematis mengenai fakta-fakta serta hubungan antara fenomena yang diteliti (Nazir, 1983 dalam Harahap, 2001).  Fakta-fakta yang terjadi dilapangan diklasifikasikan dan dicatat sebagai variabel-variabel yang memiliki nilai berupa skala kuantitatif. Metode penelitian ini menggunakan informasi dari 3 ekosistem yaitu Mangrove, Lamun, dan Terumbu Karang  yang mewakili kawasan konservasi lahan basah pesisir di sekitar pesisir Teluk Tamiang seperti disajikan dalam  Gambar 5.  Pemilihan ekosistem tersebut ditujukan karena fungsinya yang lebih terpadu dibandingkan kawasan konservasi lainnya (Cagar Alam dan Suaka Margasatwa) yaitu adanya fungsi pemanfaatan secara berkelanjutan.  Fungsi-fungsi lain yang diemban dari ekosistem mangrove, lamun, dan terumbu karang adalah perlindungan sistem penyangga kehidupan dan pengawetan keanekaragaman hayati. Pengumpulan fakta dilakukan dengan menggunakan kuesioner dengan variabel yang telah ditentukan sebelumnya menggunakan kuesioner (RAPPAM) yang dikembangkan oleh World Wildlife Fund for Nature (WWF).

Gambar 5. Peta 3 ekosistem kawasan konservasi yang menjadi tempat penelitian
3.1.       Metode Pengumpulan Data
Pemilihan kawasan konservasi dalam penelitian ini dibatasi pada kawasan konservasi yang lahan basah pesisirnya memiliki jumlah atau fungsi yang signifikan bagi kawasan konservasi.  Untuk itu pemilihan kawasan konservasi didasarkan pada paling tidak dua kriteria utama yaitu:
1. Secara kualitatif (kriteria Ramsar): Memiliki ekosistem lahan basah pesisir terutama mangrove, terumbu karang, dan padang lamun yang merupakan perwakilan ekosistem di wilayah kawasan konservasi tersebut berada.  Kawasan tersebut juga harus memiliki nilai penting bagi kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat lokal dan memiliki nilai penting biologis secara internasional.
2. Kuantitatif: Memiliki garis pantai yang cukup panjang (> 20 km)

Tabel 1. Kawasan konservasi yang dipilih sebagai responden penelitian beserta nilai penting lahan basah pesisirnya.
No
Tempat Lokasi Penelitian
Daerah Ekositem
Kekayaan Lahan Basah Pesisir
1

Sebelah Barat
Pantai berpasir, terumbu karang, pantai berbatu
2
Pesisir Teluk Tamiang
Sebelah Selatan
Ekosistem mangrove, teluk, tambak
3

Sebelah Timur
Laguna air asin, lamun, mangrove, tambak

Berdasarkan kriteria tersebut terpilih 3 ekosistem kawasan konservasi yang merupakan perwakilan Kawasan Konservasi Lahan Basah Pesisir di pesisir Teluk Tamiang yang menyebar dari ujung barat hingga ujung timur Pesisir Teluk Tamiang. Tiga kawasan konservasi tersebut disajikan dalam Tabel 1.  Data ini diperoleh dari pengamatan langsung dilapangan secara observasi dan informasi masyarakat sekitar lokasi praktik.
3.2.       Metode Analisis Data
Tahapan penelitian yang dilakukan mengikuti rekomendasi metode RAPPAM  yang dikembangkan oleh WWF.  Metode RAPPAM sebetulnya menggunakan pemikiran-pemikiran dasar Hocking (2006) dalam menilai efektivitas pengelolaan kawasan konservasi.  Hanya saja metode ini membatasi penilaiannya hingga tahap
keluaran (Output), dan tidak sampai pada tahap hasil (outcome) sebagaimana yang disarankan oleh Hockings. Tahapan-tahapan RAPPAM tersebut adalah sebagai berikut:
Tahap 1.  Menentukan cakupan penilaian
Tahap 2.  Menilai data dan informasi yang tersedia
Tahap 3.  Melakukan penilaian cepat dan pengisian kuesioner.
Tahap 4.  Mengkaji hasil temuan.
Tahap 5.  Menemukan langkah lanjutan dan rekomendasi
3.5. Analisis Tekanan dan Ancaman
Istilah “tekanan” dalam penelitian ini didefinisikan sebagai hal-hal yang telah memberikan dampak yang merusak pada keutuhan kawasan konservasi seperti berkurangnya keanekaragaman hayati, terhambatnya kemampuan berkembang biak, dan berkurangnya luas kawasan.  Ancaman didefinisikan sebagai hal-hal yang mungkin/akan menekan kawasan konservasi sehingga bisa berdampak buruk bagi keutuhan kawasan.  Tekanan dan ancaman bisa berupa kegiatan legal maupun ilegal, yang langsung ataupun tidak langsung berdampak pada kawasan konservasi yang.  Terdapat 14 jenis kegiatan yang merupakan tekanan dan ancaman terhadap keutuhan kawasan konservasi antara lain perambahan kawasan, penebangan liar, dan pariwisata.  Informasi dari penilaian ancaman dan tekanan terdiri dari 4 bagian yaitu: (1) kecenderungan; (2) luasan; (3) tingkatan dampak; dan (4) lamanya dampak.  Kecenderungan merupakan indikasi apakah tekanan yang terjadi semakin meningkat atau menurun dalam lima tahun terakhir dan kecenderungan ancaman untuk terjadi sangat mungkin atau tidak.   Luasan menunjukkan cakupan dampak terhadap kawasa konservasi seperti menyebar, terpusat, keseluruhan.  Tingkatan dan lamanya dampak menunjukkan tinggi rendahnya dampak dan permanen tidaknya tekanan dan ancaman tersebut.  Informasi tersebut disajikan dengan menggunakan paling tidak dua grafik yaitu: (1) grafik yang menunjukkan sebaran tingkat tekanan dan ancaman disetiap kawasan dan (2) perbandingan tingkat tekanan dan ancaman pada masing-masing jenis.  Tingkat tekanan dan ancaman masing-masing jenis dibandingkan satu sama lain untuk mengetahui dominansi relatif suatu jenis terhadap jenis yang lain dilakukan dengan menggunakan grafik.
Analisis Nilai Penting Kondisi Biologi, Sosial dan Ekonomi
Seperti halnya analisa tekanan dan ancaman, informasi mengenai nilai penting kondisi biologi, sosial, dan ekonomi akan disajikan dengan menggunakan grafik untuk memahami (1) pola tingkatan nilai penting setiap indikator serta (2) penyebarannya disetiap kawasan konservasi. Nilai penting biologi yang diamati dalam penelitian ini terdiri dari 10 kriteria antara lain: (1) Jumlah relatif spesies langka, terancam punah, maupun genting; (2) Jumlah relatif keanekaragaman jenis; (3) Keberadaan spesies-spesies endemik; (4) Fungsi kawasan dalam melindungi proses alami sistem pendukung kehidupan; dan (5) Keterwakilan type ekosistem yang langka. Penelitian ini juga menganalisis informasi kondisi biologis di 3 kawasan konservasi yang diperoleh dengan mengkompilasi hasil survey-suvey kekayaan keanekaragaman hayati di pesisir Teluk Tamiang berupa jumlah jenis flora, fauna, jumlah type ekosistem lahan basah, dan nilai penting dikawasan yang diwakili oleh jumlah jenis yang terancam. 
Analisis dilakukan untuk menentukan ranking nilai penting kondisi biologis setiap ekosistem dipesisir Teluk Tamiang.  Nilai penting sosial ekonomi yang diamati dalam penelitian ini terdiri dari 10 kriteria antara lain: (1) Masyarakat sekitar memiliki ketergantungan tinggi pada kawasan konservasi sebaga sumber penghidupan sehari-hari; (2) Kawasan konservasi memiliki nilai spiritual/keagamaan yang tinggi; (3) Kawasan memiliki jenis-jenis satwa atau tumbuhan yang bernilai sosial, budaya, dan ekonomi yang sangat tinggi; dan (4) Kawasan memiliki nilai yang sangat penting bagi kegiatan pendidikan dan penelitian ilmiah.  
3.7. Analisis Efektivitas Pengelolaan
Kajian mengenai efektivitas pengelolaan dilakukan pada empat aspek pengelolaan kawasan konservasi yaitu:
Efektivitas Perencanaan
Efektivitas perencanaan mengukur tiga kriteria umum yaitu: (1) penetapan tujuan; (2) kepastian hukum, dan (3) desain tapak kawasan konservasi.  Efektivitas  penetapan tujuan menilai sampai sejauh mana tujuan penetapan kawasan konservasi  telah mencakup semua keunikan kawasan dan keperluan untuk mempertahankan keunikan tersebut. 
Efektivitas Masukan Efektivitas masukan mengukur 4 kriteria umum yaitu: (1) jumlah dan kualitas staff pengelola; (2) ketersediaan data dan komunikasi; (3) ketersediaan infrastruktur; dan (4) kecukupan pendanaan pengelolaan. 
Efektivitas Proses
Efektivitas proses pengelolaan mengukur 3 kriteria umum yaitu: (1) ketersediaan rencana detail strategi pengelolaan; (2) mekanisme pengambilan keputusan; (3) kegiatan penelitian, pemantauan, dan evaluasi.  
Keluaran Keluaran pengelolaan kawasan konservasi adalah pencapaian didapatkan selama 2 tahun terakhir melalui kerja keras staf, sukarelawan, dan masyarakat dalam mengelola kawasan konservasi. 

                                                  IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pengelompokan Kawasan Konservasi Berdasarkan Jenis Ekosistem yang Dominan
Berdasarkan karakteristik masing-masing kawasan konservasi pada Tabel 2 maka secara kualitatif pengelompokan dapat dilakukan lebih detail berdasarkan tipe ekosistem yang mendominasi suatau kawasan konservasi seperti berikut:
Tabel 2. Pengelompokan kawasan konservasi berdasarkan tipe-tipe ekosistem lahan basah yang dominan.
Kriteria Pengelompokan
Kawasan Konservasi
Dominan terumbu karang, pantai berpasir, pantai berbatu
Sebelah barat
Dominan ekosistem mangrove, tambak, pantai berpasir
Sebelah selatan
Dominan tambak, mangrove, lamun
Sebelah utara
Dominan terumbu karang dan daerah bebatuan dan pantai berpasir.
Teluk dan terusan
Sumber : Hasil pengamatan praktik lapang Teluk Tamiang 2016
Tabel 2 menunjukkan bahwa tiga ekosistem kawasan konservasi yang menjadi subyek  penelitian ini dapat dibedakan menjadi 4 kelompok berdasarkan tipe ekosistem yang dominan.  Setiap kelompok memiliki kebutuhan tersendiri dalam pengelolaan kawasannya sehingga pengelompokan ini selanjutnya akan dijadikan sebagai salah satu acuan dalam mengidentifikasi isu pengelolaan yang penting beserta alternative pengelolaannya.
4.2. Karakteristik Biologi
Salah satu dasar penetapan sebuah kawasan konservasi adalah berdasarkan karakteristik-karakteristik biologisnya yang penting seperti kekayaan keanekaragaman hayati, keterwakilan ekosistem, dan fungsi perlindungannya terhadap spesies-spesies terancam punah, bernilai penting, dan khas.  Secara tradisional karakteristik ini mendominasi dasar penetapan hampir seluruh kawasan konservasi dipesisir Teluk Tamiang. Karakteristik biologi yang menjadi perhatian dalam penilaian efektivitas pengelolaan kawasan konservasi ini dibedakan menjadi 10 macam seperti yang terlihat pada Gambar 6.  Secara umum terlihat bahwa karakteristik biologi yang paling menonjol pada kawasan konservasi adalah kandungan keanekaragaman hayati, keterwakilan ekosistem, populasi minimum spesies, dan keterwakilan skala keanekaragaman hayati.  Karakteristik biologi yang paling rendah nilai pentingnya adalah tipe ekosistem yang tersisa. 
Gambar 6.  Grafik nilai penting karakteristik biologis kawasan konservasi di pesisir Teluk Tamiang.
Hasil penilaian di atas menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan konservasi menempatkan kandungan keanekaragaman hayati sebagai bagian yang paling penting untuk menjadi perhatian dalam pengelolaan kawasan konservasi.  Kandungan keanekaragaman hayati dianggap lebih penting dibandingkan keberadaan spesies endemik atau spesies yang terancam punah.  Hal ini masih wajar karena kawasan konservasi yang menjadi contoh dalam penelitian ini adalah pesisir Teluk Tamiang yang peruntukannya sebagai kawasan pelestarian alam, bukan kawasan suaka alam seperti cagar alam dan suaka margasatwa yang lebih ditujukan untuk perlindungan floran dan fauna yang terancam punah.   Nilai biologis yang tinggi yang disajikan pada Gambar 6 sebetulnya sejalan  dengan hasil survey-survey inventarisasi keanekaragaman hayati yang menunjukkan  bahwa kandungan keanekaragaman hayati lahan basah di pesisir Teluk Tamiang adalah salah satu yang kaya akan ekosistem dan biotanya.  Sekitar ± 250 spesies ikan dari 19.000 spesies yang ada di seluruh dunia bisa ditemukan di pesisir Teluk Tamiang.  Sedangkan untuk amphibi, dari 4.200 spesies yang ada di seluruh dunia, sekitar  ± 100 spesies bisa ditemukan di pesisir Teluk Tamiang.  Hasil analisis tersebut disajikan dalam Gambar 7 yang memperlihatkan adanya 3 kelompok kawasan konservasi yaitu kelompok dominant terumbu karang, kelompok kombinasi hutan pantai dan mangrove, dan kelompok dominan rawa dan mangrove.  Hasil analisis diskriminan terhadap pengelompokan tersebut menunjukkan bahwa pembagian menjadi 3 kelompok sudah tepat berdasarkan data yang tersedia.
Gambar 7.  Pengelompokan kawasan konservasi berdasarkan keanekaragaman
hayatinya.
Hasil pendekatan analisis gerombol yang disajikan dalam Tabel 3 disarikan dari  Gambar 7 yang memberikan gambaran yang sekilas terlihat berbeda dengan  pengelompokan pada Tabel 2 sebelumnya.  Meski demikian jika diamati lebih dekat terlihat bahwa pada dasarnya kedua pendekatan tersebut saling melengkapi dimana analisis gerombol memperjelas kawasan konservasi yang dominan terumbu karang dan Mangrove sedang pengelompokan dalam Tabel 3 memperjelas pengelompokan kawasan yang dominan mangrove.
Tabel 3. Pengelompokan kawasan konservasi berdasarkan hasil analisis gerombol
terhadap kekayaan jenis masing-masing kawasan
Kelompok
Kawasan Konservasi
Jenis Ekosistem
I
Sebelah Barat
Terumbu karang
II
Sebelah Selatan
Mangrove
III
Sebelah Timur
Lamun,mangrove
 Pengelompokan pada Tabel 2 yang saling melengkapi dengan pengelompokan Tabel 3 menunjukkan bahwa secara umum kawasan konservasi lahan basah yang diamati dalam penelitian ini terdiri dari 4 kelompok besar yaitu: kelompok mangrove, kelompok rawa pesisir, kelompok terumbu karang, kelompok Lamun dan kelompok campuran terumbu karang, dan mangrove. Oleh sebab itu pengelolaan kawasan konservasi di pesisir Teluk Tamiang  yang umumnya ditujukan pada perlindungan fungsi-fungsi biologis sebaiknya dikembangkan berdasarkan kebutuhan spesifik masing-masing kelompok yaitu: mangrove,  rawa pesisir, terumbu karang, lamun dan kombinasi beberapa tipe ekosistem.

4.3. Karakteristik Sosial Ekonomi

Karakteristik lain yang menjadi perhatian dalam pengelolaan kawasan konservasi adalah nilai penting sosial ekonomi.  Karakteristik ini baru disadari nilai pentingnya dalam 20-30 tahun terakhir sebab secara tradisional penetapan suatu kawasan  konservasi awalnya lebih didasarkan pada nilai penting biologis.  Munculnya berbagai  persoalan yang mengiringi pengelolaan kawasan konservasi yang ternyata bermuara pada isu sosial ekonomi membuat karakteristik sosial ekonomi menjadi salah satu bagian penting dalam perencanaan pengelolaan kawasan konservasi.
Gambar 8.  Grafik nilai penting karakteristik sosial ekonomi kawasan konservasi
Karakteristik sosial ekonomi kawasan konservasi adalah karakteristik yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat.  Hasil penilaian yang disajika dalam Gambar 8 menunjukkan bahwa secara umum nilai penting karakteristik sosial ekonomi kawasan konservasi tidaklah begitu tinggi yaitu umumnya di bawah nilai 4.  Karakteristik yang relatif tinggi adalah nilai ilmiah dan pendidikan, jasa ekosistem, satwa penting, dan pemanfaatan lestari.  Meski demikian, saat ini para pengelola Kawasan konservasi mulai melihat kawasannya sebagai sesuatu yang dapat memberikan keuntungan ekonomis terutama dari jasa ekosistem atau pemanfaatan secara lestari.  Beberapa kawasan konservasi bahkan secara serius mengkomersilkan daya tarik khasnya seperti yang terjadi di pesisir Teluk Tamiang.  Karakteristik sosial ekonomi yang nilainya kecil adalah sebagai penyedia pekerjaan.  Lokasi kawasan konservasi yang umumnya jauh dari pemukiman serta adanya batasan untuk merambah kawasan konservasi merupakan salah satu penyebab minimnya aktifitas untuk memanfaatkan kawasan konservasi secara ekonomis

4.4. Karakteristik Tekanan dan Ancaman
Tekanan merupakan kegiatan-kegiatan atau hal yang telah berlangsung dan menimbulkan dampak buruk sedangkan ancaman merupakan kegiatan atau hal yang mungkin menimbulkan dampak buruk.  Terdapat 14 jenis karakteristik tekanan dan ancaman terhadap kawasan konservasi yang menjadi perhatian dalam penelitian ini seperti ditunjukkan dalam Gambar 9.
Gambar 9.  Grafik tingkat tekanan dan ancaman dalam pengelolaan kawasan
konservasi.
Pengelolaan karakteristik sosial ekonomi dan biologi untuk menghasilkan keuntungan ekonomis dapat juga menyebabkan kerusakan sumberdaya akibat terjadinya pemanfaatan berlebih ataupun pemanfaatan yang ilegal.  Tekanan dan ancaman yang dianggap relatif kecil pada kawasan konservasi adalah perburuan harta karun dan wisata.  Tekanan dan ancaman yang paling besar dalam pengelolaan kawasan konservasi adalah pembalakan, perambahan kawasan, dan perburuan satwa.  Hal ini sangat sulit untuk dihindari karena permintaan yang tinggi terhadap satwa dan tumbuhan liar yang menyebabkan nilai pasarnya menjadi sangat tinggi.  Nilai ekonomis dari perdagangan satwa liar yang tercatat di Departemen Kehutanan yang nilainya tidak sampai Rp 150 miliar sebetulnya puncak dari gunung es.  ProFauna, sebuah LSM yang bergerak dalam isu perdagangan ilegal satwa liar, memperkirakan nilai perputaran uang dalam perdagangan ilegal satwa liar mencapai Rp 9 trilliun pertahun dan sebagian satwa tersebut berasal dari lahan basah pesisir seperti burung raja udang (Halcyon) dan penyu (Tempo Interaktif, 2006). Pembalakan hutan mangrove, cenderung dominan di kawasan konservasi yang memiliki wilayah upland seperti di pesisir Teluk Tamiang daerah sebelah timur untuk jadikan lahan tambak budidaya.  Meski pembalakan terjadi jauh ke wilayah upland, akibatnya dapat berdampak langsung terhadap kualitas lahan basah pesisir.  Terbukanya tutupan ekosistem hutan mangrove akan menyebabkan mudahnya terjadi erosi pada musim hujan yang menyebabkan wilayah pesisir mengalami penurunan kualitas air. Tekanan dan ancaman yang dihadapi oleh kawasan konservasi yang didominasi oleh ekosistem laut seperti daerah sebelah barat dan selatan teluk karena pengelolaan yang tidak terkoordinasi.  Tekanan dan ancaman lain yang lazim muncul adalah pemukiman dan penggunaan alat tangkap yang destruktif.

4.5.    Kajian Efektivitas Pengelolaan
4.5.1. Perencanaan Kawasan
Terdapat tiga kelompok utama yang menjadi penilaian dalam mengukur kekuatan perencanaan kawasan konservasi yaitu: penetapan tujuan, kepastian hukum, dan desain tapak.  Ketiga kelompok tersebut terdiri dari masing-masing 5 komponen penilaian.  Hasil penilaian terhadap ketiga kelompok utama perencanaan di 3 ekosistem kawasan konservasi di pesisir Teluk Tamiang disajikan dalam Gambar 10.
Gambar 10.  Grafik nilai berbagai komponen dalam perencanaan kawasan konservasi
Gambar 10 menunjukkan bahwa semua kelompok penilaian perencanaan kawasan konservasi yaitu penetapan tujuan, kepastian hukum, dan desain tapak, masih relative lemah dimana nilai rata-rata keseluruhan aspek lebih kecil dari 3.  Secara umum nilai perencanaan tujuan kawasan konservasi sudah relatif lebih baik dibandingkan aspek kepastian hukum dan desain tapak.  Hal-hal yang masih perlu perhatian serius dalam penyusunan tujuan kawasan konservasi adalah ketidak konsistenan rencana detail pengelolaan dengan tujuan utama yang ingin dicapai, pemahaman staf terhadap tujuan pengelolaan dan dukungan masyarakat masih lemah.  Ditinjau dari aspek kepastian hukum hampir semua komponen yang diamati belum sesuai dengan harapan yaitu masih seringnya muncul klaim atas sumberdaya, tata batas yang tidak jelas, dan konflik yang tidak terselesaikan.  Aspek perlindungan hukum yang menunjukkan nilai relatif tinggi pada Gambar 10. lebih mengacu pada adanya dasar hukum pembentukan kawasan, tapi hal ini tidak didukung oleh aspek lain.  Komponen-komponen dalam kelompok desain tapak yang sudah relatif lebih baik adalah komponen kesesuaian tempat dan komponen lay out kawasan konservasi.  Sedangkan zonasi, pemanfaatan sekitar kawasan, dan keterkaitan dengan kawasan lain masih relatif lemah.  Aspek perencanaan dalam mengelola kawasan konservasi adalah hal yang mengawali sukses tidaknya pengelolaan kawasan konservasi.  Lemahnya aspek perencanaan kawasan konservasi yang ditemukan dalam penelitian ini menunjukkan pentingnya pemerintah dan pemangku kepentingan untuk kembali menata ulang rencana-rencana strategis pengelolaan kawasan konservasi yang telah ada saat ini.
4.5.2. Masukan
Aspek masukan dalam kegiatan pengelolaan kawasan konservasi adalah segala hal yang dibutuhkan dalam proses pengelolaan untuk membantu mencapai tujuan-tujuan pengelolaan.  Terdapat empat kelompok komponen penilaian yang menjadi perhatian dalam menilai kekuatan “masukan” dalam pengelolaan kawasan konservasi yaitu: pegawai, komunikasi, infrastruktur, dan keuangan.  Nilai masing-masing kelompok tersebut beserta komponen-komponennya disajikan dalam gambar berikut.
Gambar 11.  Grafik nilai berbagai komponen masukan dalam pengelolaan kawasan Konservasi
Gambar 11 menunjukkan bahwa tidak satupun dari 20 komponen masukan dalam  pengelolaan kawasan konservasi yang telah memadai (nilai>3) untuk mendukung pencapaian tujuan-tujuan pengelolaan kawasan konservasi.  Kelompok komponen yang memperoleh nilai paling lemah adalah kelompok infrastruktur. Sedangkan kelompok komponen yang relatif lebih baik dibanding kelompok lain adalah kelompok pegawai.  Dua komponen yang paling lemah dari 20 komponen yang diamati sebagai  “modal” suksesnya pengelolaan kawasan konservasi adalah kondisi kerja bagi staf dan perawatan terhadap peralatan.  Komponen yang relatif lebih baik dibandingkan dengan yang lain adalah komunikasi dengan masyarakat.  Gambaran ini menunjukkan bahwa kebutuhan akan komponen-komponen masukan sumberdaya manusia, sarana komunikasi, infrastruktur, dan keuangan masih sangat tinggi.  Hal ini menjadi sangat penting karena belum terdapat pertumbuhan nyata alokasi keuangan pada lembaga-lembaga pemerintah yang menangani isu konservasi.  Meski secara perlahan Departemen Kehutanan mulai menanamkan pemahaman konservasi yang lebih dini pada staf-staf barunya dengan memagangkan semua staf baru di kawasan-kawasan konservasi di pesisir Teluk Tamiang.
4.5.3. Keluaran
Penilaian terhadap keluaran dalam siklus pengelolaan kawasan konservasi ditujukan untuk mengetahui apakah selama dua tahun terakhir keluaran tersebut konsisten untuk mencapai tujuan-tujuan umum pengelolaan, perencanaan kerja tahunan, dan kesesuaiannya dalam menghadapi tekanan dan ancaman yang dialami kawasan konservasi.  Terdapat 10 komponen keluaran dalam siklus pengelolaan mencakup isu-isu sosial, ekonomi, biologi, dan kelembagaan pengelola seperti disajikan dalam Gambar 12.
Gambar 12. Grafik nilai keluaran dalam pengelolaan kawasan konservasi

Hasil penilaian terhadap keluaran yang diperoleh dari pengelolaan kawasan konservasi di pesisir Teluk Tamiang menunjukkan bahwa hampir semua komponen keluaran masih jauh dari memuaskan (nilai<3, Gambar 12).  Hasil yang paling lemah adalah upaya restorasi, pengelolaan pengunjung, dan pengembangan infrastruktur.  Sedangkan komponen keluaran yang relatif lebih baik adalah peningkatan kepedulian.

V. PENUTUP

5.1. Kesimpulan
1. Kawasan konservasi yang dikaji dalam penelitian di pesisir Teluk Tamiang umumnya memiliki nilai penting biologis dan sosial ekonomis yang tinggi.  Beberapa diantara kawasan tersebut juga mengalamai tekanan dan ancaman yang tinggi meski dalam intensitas yang berbeda-beda.  Tekanan dan ancaman yang paling besar dihadapi kawasan konservasi adalah perambahan, pembalakan, dan perburuan satwa liar.
2. Sebagian besar kawasan konservasi belum efektif dalam melakukan pengelolaan  yang ditandai oleh kondisi perencanaan terutama landasan hukum dan desain tapak  kawasan yang masih lemah, kekurangan masukan terutama infrastruktur dan keuangan khususnya di kawasan pesisir Teluk Tamiang, kelemahan proses pelaksanaan rencana terutama pada komponen monitoring evaluasi khususnya penelitian isu sosial ekonomi.
3. Pengelolaan kawasan konservasi membutuhkan dua strategi prioritas pengelolaan yaitu strategi pengelolaan kondisi internal yang berkaitan dengan peningkatan kapasitas pengelola dan strategi kondisi eksternal yaitu pengembangan kegiatan kolaboratif untuk menurunkan tekanan dan ancaman.  Strategi ini masih cenderung berupa strategi makro yang merupakan ciri rekomendasi RAPPAM.  Penyusunan rekomendasi strategi pengelolaan ditingkat meso yaitu untuk kelompok kawasan konservasi dengan tipe ekosistem tertentu harus disesuaikan dengan kondisi khusus masing-masing ekosistem seperti Terumbu karang, rawa pesisir, ekosistem mangrove dan lamun.
5.2. Saran
Perlu senantiasa dilakukan pemutakhiran data ekologi, sosial ekonomi, dan hasil analisisnya untuk mengetahui status terkini kawasan konservasi di Indonesia, peluang pemanfaatan secara bijaksana dan berkelanjutan agar dapat dilakukan pengelolaan yang lebih efektif.

DAFTAR PUSTAKA

Abbot TE, 2003. An Assesment of 16 Governance Indicator for the Bird Island Sanctuary, Commonwealth of the Northen Mariana Island. Marine Protected Area Management Initiative. IUCN/WCPA. WWF. NOAA.
Belfiore S, et al. 2003. A Reference Guide on the Use of Indicator for Integrated Coastal Management. ICAM Dossier 1. IOC Manual Guides and Reference No 45. UNESCO 2003.
Bappenas. 2004. Indonesia Biodiveristy Strategy and Action Plan, IBSAP. Bappenas.
Jakarta.
Butler RA. 2007. Deforestation in Amazon. Rainforest Information.  MONGABAY.COM. http://www.mongabay.com/brazil.html. [20 Juli 2007]
Dunn WN. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik (terjemahan). Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Departemen Kehutanan. 2005. Statistik Kehutanan Indonesia. Departemen Kehutanan.
http://www.dephut.go.id/informasi/statistik/2005/PHKA. [1 Des 2006]
Ervin J. 2003. Rapid Assesment and Prioritization of Protected Area Management (RAPPAM) Methodology .  World Wild Fund for Nature. Gland, Switzerland.
Forestry Institute and Forestry Foundation of Sao Paulo. 2005.  Implementation of Rapid Assesment and Prioritization of Protected Area Management by the Forestry Institute and Forestry Foundation of Sao Paulo.  World Wild Fund for Nature.  Brazil.
Furukawa H. 1994. Coastal Wetlands of Indonesia: Environment, Subsistence, and Exploitation.  Kyoto University Press. Japan.
Goodman PS. 2003. Assessing Management Effectivenes and Setting Priorities in Protected Areas in KwaZulu-Natal.  American Institute of Biological Science. WWF. Gland Switzerland.
Hehanussa PE, Haryani GS. 2001.  Kamus Limnologi (Perairan Darat). IHP, UNESCO, LIPI
Hockings, M., S. Stolton, F. Leverington, N. Dudley, J. Courrau. 2006.  Evaluating Effectiveness:  A Framework for Assessing Management Effectivenes of Protected Area 2 Edition. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK. 
IUCN. 1994.  Guidelines for Protected Area Management Categories. CNPPA with the assistance of WCMC. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK.  
Komite Nasional Pengelolaan Lahan Basah, 2004.  Strategi Nasional Pengelolaan Lahan Basah.  Kementerian Lingkungan Hidup.  Jakarta.
Lacerda L, Schmitt K, Cutter P, Meas S. 2004. Management Effectivenes Assessment
of the System of Protected Areas in Cambodia using WWF’s RAPPAM Methodology. Ministry of Environment, Biodiversity and Protected Area Management Project, Phnom Penh. Cambodia.
Ludwig JA, Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology. A Primer on Methods and Computing.  John Wiley & Sons. New York.National Wetlands Committe (NWC) for SCS Project.  2004.  Final Report Coastal Wetlands Subcomponent of Indonesia.  South China Sea Project.  WI–IP.
  
Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan dan Lembaga Ilmu PengetahuanIndonesia 2000.  Konsep Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Terumbu Karang Indonesia. Jakarta.  Ramsar Convention. 2006. www.ramsar.org [27 April 2007]
Rahmiyati. 2006. Social Forestry di Hutan Lindung. http://www.indomedia.com/ bpost/112006/9/opini/ opini2.htm. [27 April 2007]
Staub F, Hatziolos ME, 2004. Score Card to Assess Progress in Achieving Management Effectivennes Goals for Marine Protected Areas. The World Bank.
Tempo Interaktif. 2006. Pemerintah diminta naikkan anggaran konservasi. http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2006/02/17/brk,2006021774079,id.html.[6 Juni 2006]
Tempo Interaktif. 2006. Omzet Perdagangan Satwa Liar Ilegal Rp 9 Trilyun/tahun. http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2006/01/19/brk,2006011972553,id.htm.[6 Juni 2006]
United States Environmental Protection Agency (EPA). 2002.  Electronic Clean water Act “Snapshot”.  http://www.epa.gov/region5/water/cwa.htm. [10 April 2005]
United Nations Environment Programme (UNEP). 2004. Reversing Environmental  Degradation Trends in the South China Sea and Gulf of Thailand. Report of the  Fourth Meeting of the Regional Working Group for the Wetlands Sub Compoent.  UNEP/GEF Bangkok.
Warner BG, Rubec CDA, ed. 1997.   The Canadian Wetland Classification System.  Wetlands Research Centre, University of Waterloo. Waterloo.