I. PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Lahan basah pesisir
menurut definisi dalam Konvensi Ramsar adalah daerah di pesisir yang tergenang
air baik secara periodik maupun terus menerus termasuk perairan laut hingga
kedalaman tidak lebih dari 6 meter saat surut terendah. Berdasarkan definisi
tersebut yang termasuk dalam lahan basah pesisir meliputi mangrove, padang
lamun, terumbu karang, dataran pasir dan lumpur, pantai berbatu, estuaria, rawa
air tawar, rawa gambut pesisir, laguna, dan berbagai jenis lahan basah buatan. Luas lahan basah pesisir Indonesia yang
memiliki nilai penting secara internasional tidak kurang dari 15 juta hektar,
separuh dari luas seluruh daratan Malaysia (Komite Nasional Pengelolaan Lahan
Basah, 2004). Dengan jumlah tersebut
Indonesia termasuk sebagai salah satu negara yang memiliki lahan basah pesisir
terluas di Asia.
Lahan basah pesisir
memiliki nilai penting secara ekologis, ekonomi, sosial dan budaya. Secara ekologis, daerah ini kaya akan nutrien
yang menyebabkan banyak organisme yang melewati sebagian atau seluruh siklus
hidupnya di lahan basah pesisir. Lahan
basah pesisir Cagar Alam Hutan Bakau Timor di Jambi misalnya, setiap tahunnya
disinggahi sekitar 20.000 burung migran dalam perjalanan migrasinya dari wilayah
belahan bumi utara ke Australia dan Selandia Baru (National Wetlands Committee
for SCS Project, 2004). Termasuk
diantaranya burung air langka Trinil Lumpur Asia (Asian Dowitcher) yang
dimasukkan dalam kategori jarang dalam daftar International Union on
Coservation of Nature and Natural Resources (IUCN).
Secara
ekonomi lahan basah pesisir menjadi tempat hidup berbagai spesies yang memiliki
nilai ekonomis penting sebagai sumber pangan atau sebagai bahan baku industri. Sebuah studi nilai ekonomis yang dilakukan
oleh Wetlands International–Indonesia Programme (WIIP) terhadap Taman Nasional
Sembilang menunjukkan bahwa nilai penggunaan langsung kawasan tersebut mencapai
US$ 15.000.000 per tahun (Goenner dan Wibowo, 2002). Nilai-nilai ekonomi tersebut juga dapat
menjadi lebih penting lagi karena posisinya yang strategis sehingga menjadi
jalur pelayaran penting, terutama di daerah estuari.
Secara sosial budaya
lahan basah pesisir telah menjadi pilihan tempat bermukim masyarakat sejak
ratusan tahun silam sehingga masyarakat membentuk karakteristik sosial yang
khas untuk beradaptasi dengan lingkungan lahan basah pesisir. Hal tersebut ditunjukkan oleh munculnya
berbagai tradisi, kesenian, termasuk cerita rakyat yang berhubungan dengan
lahan basah pesisir.
Potensi lahan basah
pesisir yang dimiliki Indonesia yang sedemikian besarnya tidak lantas
menyebabkan upaya pengelolaannya menjadi lebih baik. Kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang
terus menerus terganggu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kelemahan
pengelolaan tersebut. Akibatnya lahan
basah pesisir menjadi salah satu daerah yang sangat rentan dalam menghadapi
kerusakan alam baik yang disebabkan oleh manusia seperti perubahan iklim,
pemanfaatan berlebih, pencemaran dari darat maupun laut dan akibat bencana alam
seperti tsunami dan badai (Komite Nasional Pengelolaan Lahan Basah, 2004). Kondisi ini jika dibiarkan terus, secara
langsung akan menjadi ancaman bagi manusia.
Hal tersebut disebabkan oleh karena fungsi dan nilai penting lahan basah
seperti yang disebutkan di atas jika mengalami kerusakan akan menyebabkan lahan
basah tidak bisa lagi menjadi system pendukung kehidupan sosial, ekonomi, dan
ekologis.
Sebaliknya,
lahan basah pesisir yang sehat akan mendukung penyediaan pangan bagi manusia,
menyediakan lingkungan yang sehat, memiliki fungsi mitigasi terhadap bencana
alam dan akan membantu manusia dalam beradaptasi terhadap perubahan lingkungan
global. Kenyataan tersebut menunjukkan
bahwa perlindungan dan pemanfaatan secara bijaksana terhadap lahan basah
pesisir harus merupakan bagian penting dalam kegiatan manusia khususnya di
sekitar pesisir teluk tamiang.
1.2. Tujuan dan
Manfaat
1.2.1.
Tujuan
Penelitian
ini bertujuan untuk:
1.
Mengetahui
status kawasan konservasi berdasarkan kondisi biologi, sosial, ekonomi, dan tekanan
dan ancaman yang dihadapi oleh kawasan konservasi di perairan teluk tamiang.
2. Mengkaji
efektivitas pengelolaan kawasan konservasi berdasarkan nilai penting pada
setiap siklus pengelolaan yaitu perencanaan, masukan, proses, dan keluaran.
3.
Mengidentifikasi
faktor-faktor yang dominan dan mempengaruhi efektivitas pengelolaan kawasan
konservasi di perairan teluk tamiang yang memiliki lahan basah pesisir.
4.
Memberikan
rekomendasi strategi yang efektif dalam pengelolaan kawasan konservasi.
1.2.2.
Manfaat
Hasil penelitian ini akan memberikan gambaran kinerja
pengelolaan kawasan konservasi yang memiliki lahan basah di perairan teluk
tamiang. Oleh sebab itu penelitian ini
dapat membantu dalam melakukan evaluasi secara efektif terhadap pengelolaan
sekaligus memberi masukan dalam perumusan kebijakan pengelolaan efektif kawasan
konservasi yang memiliki lahan basah pesisir di sekitar perairan teluk tamiang.
1.3.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini lebih
ditujukan untuk mengevaluasi pelaksanaan kebijakan pengelolaan kawasan
konservasi secara keseluruhan pada ekosistem mangrove,lamun, dan terumbu karang
di sekitar
perairan teluk tamiang. Oleh
sebab itu, penelitian ini dibatasi pada evaluasi terhadap pengelolaan di
sekitar wilayah perairan teluk tamiang dengan menambahkan perhatian pada isu
tertentu. Dengan
demikian, hasil
evaluasi pada penelitian ini akan menghasilkan rekomendasi kebijakan pengelolaan
kawasan konservasi lahan basah disekitar perairan teluk tamiang.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Lahan Basah
Pesisir
Istilah lahan basah resmi yang digunakan di Indonesia
tercantum dalam Keppres mengenai ratifikasi Konvensi Ramsar. Definisi tersebut adalah: “Daerah-daerah rawa, payau, lahan gambut, dan perairan;
tetap atau sementara; dengan air yang tergenang atau mengalir; tawar, payau, atau asin; termasuk wilayah
perairan laut yang kedalamannya tidak lebih dari enam
meter pada waktu surut.” Lahan
basah ”dapat pula mencakup daerah riparian, wilayah pesisir di sekitar lahan pulau-pulau
atau laut yang kedalamannya lebih dari enam meter pada surut terendah tetapi
terletak di tengah lahan basah (Keppres No 48, 1991).
Beberapa produk kebijakan dan institusi yang bergerak
dalam isu lahan basah sebagai kesatuan ekosistem masih belum menggunakan
istilah/definisi lahan basah sebagai mana mestinya. Meski demikian
definisi yang paling luas digunakan
terutama
jika menyangkut kerjasama internasional adalah definisi Konvensi Ramsar (Komite Nasional Pengelolaan Lahan Basah,
2004).
2.2.
Kawasan Konservasi dan Fungsinya
Terdapat lebih dari 140 kategori kawasan konservasi
yang dipakai di berbagai negara sehingga terdapat kesulitan dalam
mengkomunikasikannya dari satu negara ke negara lain (IUCN, 1994). Oleh sebab itu IUCN menyusun pengelompokan kawasan
konservasi menjadi enam kategori seperti berikut:
1.
Strict
Nature Reserve/Wildernes Area
2.
National
Park
3.
Natural
Monument
4.
Habitat/Spesies
Management Area
5.
Protected
Landscape/Seascape
6.
Managed
Resource Protected Area
Istilah yang juga sering digunakan adalah Keputusan
Presiden No 32 Tahun 1990 yang menggunakan istilah ”kawasan lindung” dan
membaginya dalam 4 jenis yaitu:
1.
Kawasan
yang memberikan perlindungan di bawahnya
2. Kawasan
perlindungan setempat
3.
Kawasan
rawan bencana alam
4.
Kawasan
suaka alam dan cagar budaya.
2.1.
Pengelolaan Kawasan Konservasi yang Memiliki Kawasan
Lahan Basah Pesisir
Pengelolaan kawasan konservasi yang memiliki lahan
basah pesisir nasional, yang dalam tulisan ini disingkat ”kawasan konservasi”,
berada dalam tanggung jawab pemerintah pusat yaitu Departemen Kehutanan. Meski demikian, baik-buruknya kondisi dan
pengelolaan kawasan konservasi juga sangat tergantung pada kondisi diluar
kawasan konservasi yang pengelolaannya berada dibawah pemerintah daerah, departemen-departemen
sektor lainnya dalam pemerintahan, kalangan swasta, dan masyarakat umum. Dengan demikian tujuan pengelolaan kawasan
konservasi tidak bisa berdiri sendiri tetapi mempertimbangkan kepentingan di
daerah-daerah sekeliling kawasan konservasi. Tujuan pengelolaan kawasan konservasi
diturunkan dari kriteria fungsi kawasan
yang terdapat dalam Undang-undang No 5. Tahun 1990 yaitu sebagai pelindung
sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati, dan pemanfaatan
secara lestari. Tujuan pengelolaan
kawasan konservasi tersebut adalah (Nitibaskara, 2005):
1.
Terwujudnya
kegiatan pengelolaan kawasan konservasi dan potensi sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya berazaskan kelestarian.
2. Terjaganya fungsi
kawasan konservasi yang optimal bagi kemakmuran masyarakat di dalam
dan di sekitarnya,
3.
Terkendalinya
keseimbangan populasi flora dan fauna hidupan liar dan proses-proses alami di
dalam maupun di luar kawasan konservasi.
4.
Terkendalinya
pemanfaatan flora dan fauna hidupan liar, jasa wisata alam dan lingkungan secara
bijaksana dan berkelanjutan untuk kepentingan pembangunan
dengan melibatkan
masyarakat di sekitar kawasan konservasi.
5.
Terwujudnya
pola kemitraan dalam pembangunan dan pengelolaan kawasan konservasi dan
pemanfaatan potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistem yang terdapat di dalam
kawasan konservasi.Secara
umum keterkaitan berbagai isu dan pemangku kepentingan dalam pengelolaan
kawasan konservasi lahan dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 1.
Pengelolaan kawasan konservasi, sumber : Rudianto dan Sartono, 2004, Komunikasi
Pribadi.
Gambar
1 menunjukkan bagaimana isu pengelolaan di tingkat nasional dan internasional
dirangkum untuk menjadi kebijakan nasional pengelolaan sumberdaya hayati
(Rudianto dan Sartono, 2004, Komunikasi Pribadi). Kebijakan tersebut selanjutnya diadopsi dan
dikembangkan menjadi kebijakan pengelolaan kawasan konservasi oleh Departemen
Kehutanan.
2.1.
Efektivitas
Istilah
”pengelolaan kawasan konservasi yang memiliki lahan basah pesisir” atau
disingkatpengelolaan kawasan konservasi, merupakan segala upaya sistematis
yang dengan sengaja dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemangku kepentingan
dalam mengelola lahan basah pesisir dalam kawasan konservasi. Kegiatan pengelolaan bisa merupakan
pelaksanaan atau aksi dari sebuah “kebijakan” dalam diagram analisis kebijakan
Dunn (2003) yang berorientasi pada masalah. Prosedur analisis kebijakan yang berorientasi pada
masalah menggunakan metode pemantauan
dan evaluasi untuk memahami aksi kebijakan dan hasil-hasilnya. Prosedur ini terletak di paruh sebelah kiri
dalam diagram analisis kebijakan dan secara umum disebut sebagai analisis
kebijakan yang bersifat retrospektif (Gambar2). Prosedur pemantauan dan evaluasi dilakukan
sebagai bagian dari analisis kebijakan untuk memahami ”apa yang terjadi dan perbedaan apa yang
dibuat” dari sebuah kebijakan (Dunn,
2003). Hal yang sama dilakukan dalam
penelitian ini dengan melakukan evaluasi terhadap pengelolaan. Secara umum, kegiatan pengelolaan sebagai
aksi dan hasil-hasil kebijakan dapat digambarkan sebagai sebuah siklus dari 5
isu seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 3 meliputi: (1) Konteks yang
berisi status dan ancaman yang kemudian melahirkan visi pengelolaan; (2) Perencanaan;
(3) Masukan; (4) Proses pengelolaan; (5) Keluaran; dan (6)
Hasil (Hockings et al., 2006).
Beberapa istilah-istilah pengelolaan kawasan konservasi dalam tulisan
ini seperti konteks, keluaran, dan hasil adalah istilah yang
diadopsi dari Bahasa Inggeris. Istilah
aslinya bisa ditelusuri dalam Daftar Istilah seperti disajikan dalam Lampiran
3. Evaluasi efektivitas pengelolaan
adalah hal yang mutlak diperlukan untuk mengetahui apakah kegiatan yang
dilakukan telah berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip yang mendasari
pengelolaan sehingga tujuan dapat dicapai atau tidak. Evaluasi dirasakan semakin perlu belakangan
ini ketika prinsip akuntabilitas menjadi isu yang tidak terpisahkan dalam
hampir setiap kegiatan yang bersinggungan dengan kepentingan publik.
Gambar 2. Analisis kebijakan yang beriorentasi
pada masalah,(Dunn,2003)
Pelaksanaan
evaluasi efektivitas pengelolaan bukan hal yang mudah terutama ketika pihak
pengelola menganggap proses evaluasi sebagai proses ”penyidikan” (Hockings et.al.,
2006). Oleh sebab itu, penting untuk
menetapkan tujuan evaluasisebagai alat untuk membantu pengelola dalam
pekerjaannya, bukan sebagai sebuah cara untuk memata-matai atau menghukum para
pengelola yang kinerjanya kurang.
Gambar 3. Siklus pengelolaan dan
evaluasinya,(Hockings.et.al,2006)
Semua
pihak yang terlibat dalam proses evaluasi sebaiknya memahami bahwa evaluasi
harus senantiasa dilihat sebagai sesuatu yang positif dan merupakan proses
normal untuk mendukung kegiatan pengelolaan.
Bagaimanapun juga, lembaga donor, LSM, dan masyarakat umum, punya hak
untuk mengetahui pencapaian sasaran dan tujuan pengelolaan kawasan
konservasi. Tidak bisa dipungkiri bahwa
hasil evaluasi tersebut juga sangat dibutuhkan untuk tujuan-tujuan advokasi
(Hockings et.al., 2006). Oleh
sebab itu terdapat paling tidak tiga tujuan evaluasi efektivitas pengelolaan
yaitu: (1) Mempromosikan pengelolaan yang adaptif; (2) Meningkatkan kualitas
perencanaan kegiatan; (3) Mempromosikan akuntabiltas. Ketiga tujuan ini selanjutnya akan diupayakan
tercapai secara utuh melalui hasil evaluasi yang dilakukan dengan baik.
METODOLOGI
PENELITIAN
3.1.
Waktu
Dan Lokasi Peraktek
Praktek lapang dilaksanakan pada
Tanggal 28 – 1 Desember
2016 di Pesisir Desa Teluk Tamiang
Kecamatan Pulau Laut Tanjung Selayar
Kabupaten Kotabaru Provinsi Kalaimantan
Selatan.
Gambar 4. Peta Lokasi
Praktik Lapang Teluk Tamiang
3.1.
Metode
Pengambilan Sampel
Praktik lapang ini merupakan kajian deskriptif –
korelasional untuk menggambarkan secara sistematis mengenai fakta-fakta serta
hubungan antara fenomena yang diteliti (Nazir, 1983 dalam Harahap, 2001). Fakta-fakta yang terjadi dilapangan diklasifikasikan
dan dicatat sebagai variabel-variabel yang memiliki nilai berupa skala kuantitatif.
Metode penelitian ini menggunakan informasi dari 3 ekosistem yaitu Mangrove,
Lamun, dan Terumbu Karang yang mewakili
kawasan konservasi lahan basah pesisir di sekitar pesisir Teluk Tamiang seperti
disajikan dalam Gambar 5. Pemilihan ekosistem tersebut ditujukan karena
fungsinya yang lebih terpadu dibandingkan kawasan konservasi lainnya (Cagar
Alam dan Suaka Margasatwa) yaitu adanya fungsi pemanfaatan secara
berkelanjutan. Fungsi-fungsi lain yang
diemban dari ekosistem mangrove, lamun, dan terumbu karang adalah perlindungan
sistem penyangga kehidupan dan pengawetan keanekaragaman hayati. Pengumpulan
fakta dilakukan dengan menggunakan kuesioner dengan variabel yang telah
ditentukan sebelumnya menggunakan kuesioner (RAPPAM) yang dikembangkan oleh
World Wildlife Fund for Nature (WWF).
3.1.
Metode
Pengumpulan Data
Pemilihan kawasan konservasi dalam penelitian ini
dibatasi pada kawasan konservasi yang lahan basah pesisirnya memiliki jumlah
atau fungsi yang signifikan bagi kawasan konservasi. Untuk itu pemilihan kawasan konservasi
didasarkan pada paling tidak dua kriteria utama yaitu:
1.
Secara
kualitatif (kriteria Ramsar): Memiliki ekosistem lahan basah
pesisir terutama mangrove, terumbu
karang, dan padang lamun yang merupakan perwakilan
ekosistem di wilayah kawasan konservasi tersebut berada. Kawasan
tersebut juga harus memiliki nilai penting bagi kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat lokal dan
memiliki nilai penting biologis secara internasional.
2. Kuantitatif: Memiliki garis pantai
yang cukup panjang (> 20 km)
Tabel 1. Kawasan konservasi
yang dipilih sebagai responden penelitian beserta nilai penting lahan basah
pesisirnya.
Berdasarkan kriteria tersebut terpilih 3 ekosistem
kawasan konservasi yang merupakan perwakilan Kawasan Konservasi Lahan Basah
Pesisir di pesisir Teluk Tamiang yang menyebar dari ujung barat hingga ujung
timur Pesisir Teluk Tamiang. Tiga kawasan konservasi tersebut disajikan dalam
Tabel 1. Data ini diperoleh dari
pengamatan langsung dilapangan secara observasi dan informasi masyarakat
sekitar lokasi praktik.
3.2.
Tahapan penelitian yang dilakukan mengikuti
rekomendasi metode RAPPAM yang dikembangkan oleh WWF.
Metode RAPPAM sebetulnya menggunakan pemikiran-pemikiran
dasar Hocking (2006) dalam menilai efektivitas pengelolaan kawasan konservasi.
Hanya saja metode ini membatasi penilaiannya hingga tahap
keluaran
(Output), dan tidak sampai pada tahap hasil (outcome) sebagaimana yang disarankan
oleh Hockings. Tahapan-tahapan RAPPAM tersebut adalah sebagai berikut:
Tahap
1. Menentukan cakupan penilaian
Tahap
2. Menilai data dan informasi yang
tersedia
Tahap
3. Melakukan penilaian cepat dan
pengisian kuesioner.
Tahap
4. Mengkaji hasil temuan.
Tahap
5. Menemukan langkah lanjutan dan
rekomendasi
3.5. Analisis Tekanan dan Ancaman
Istilah
“tekanan” dalam penelitian ini didefinisikan sebagai hal-hal yang telah memberikan
dampak yang merusak pada keutuhan kawasan konservasi seperti berkurangnya
keanekaragaman hayati, terhambatnya kemampuan berkembang biak, dan berkurangnya
luas kawasan. Ancaman didefinisikan
sebagai hal-hal yang mungkin/akan menekan kawasan konservasi sehingga bisa
berdampak buruk bagi keutuhan kawasan.
Tekanan dan ancaman bisa berupa kegiatan legal maupun ilegal, yang
langsung ataupun tidak langsung berdampak pada kawasan konservasi yang. Terdapat 14 jenis kegiatan yang merupakan
tekanan dan ancaman terhadap keutuhan kawasan konservasi antara lain perambahan
kawasan, penebangan liar, dan pariwisata. Informasi dari penilaian ancaman dan tekanan terdiri
dari 4 bagian yaitu: (1) kecenderungan; (2) luasan; (3) tingkatan dampak; dan
(4) lamanya dampak. Kecenderungan merupakan
indikasi apakah tekanan yang terjadi semakin meningkat atau menurun dalam lima
tahun terakhir dan kecenderungan ancaman untuk terjadi sangat mungkin atau
tidak. Luasan menunjukkan cakupan
dampak terhadap kawasa konservasi seperti menyebar, terpusat, keseluruhan. Tingkatan dan lamanya dampak menunjukkan
tinggi rendahnya dampak dan permanen tidaknya tekanan dan ancaman tersebut. Informasi tersebut disajikan dengan
menggunakan paling tidak dua grafik yaitu: (1) grafik yang menunjukkan sebaran
tingkat tekanan dan ancaman disetiap kawasan dan (2) perbandingan tingkat
tekanan dan ancaman pada masing-masing jenis.
Tingkat tekanan dan ancaman masing-masing jenis dibandingkan satu sama
lain untuk mengetahui
dominansi relatif suatu jenis terhadap jenis yang lain dilakukan dengan menggunakan
grafik.
Analisis Nilai Penting Kondisi
Biologi, Sosial dan Ekonomi
Seperti halnya analisa tekanan dan ancaman, informasi
mengenai nilai penting kondisi biologi, sosial, dan ekonomi akan disajikan
dengan menggunakan grafik untuk memahami (1) pola tingkatan nilai penting
setiap indikator serta (2) penyebarannya disetiap kawasan konservasi. Nilai
penting biologi yang diamati dalam penelitian ini terdiri dari 10 kriteria
antara lain: (1) Jumlah relatif spesies langka, terancam punah, maupun genting;
(2) Jumlah relatif keanekaragaman jenis; (3) Keberadaan spesies-spesies
endemik; (4) Fungsi kawasan dalam melindungi proses alami sistem pendukung
kehidupan; dan (5) Keterwakilan type ekosistem yang langka. Penelitian ini juga
menganalisis informasi kondisi biologis di 3 kawasan konservasi yang diperoleh
dengan mengkompilasi hasil survey-suvey kekayaan keanekaragaman hayati di
pesisir Teluk Tamiang berupa jumlah jenis flora, fauna, jumlah type ekosistem
lahan basah, dan nilai penting dikawasan yang diwakili oleh jumlah jenis yang
terancam.
Analisis dilakukan untuk menentukan ranking nilai
penting kondisi biologis setiap ekosistem dipesisir Teluk Tamiang. Nilai penting sosial ekonomi yang diamati
dalam penelitian ini terdiri dari 10 kriteria antara lain: (1) Masyarakat
sekitar memiliki ketergantungan tinggi pada kawasan konservasi sebaga sumber
penghidupan sehari-hari; (2) Kawasan konservasi memiliki nilai
spiritual/keagamaan yang tinggi; (3) Kawasan memiliki jenis-jenis satwa atau
tumbuhan yang bernilai sosial, budaya, dan ekonomi yang sangat tinggi; dan (4)
Kawasan memiliki nilai yang sangat penting bagi kegiatan pendidikan dan penelitian
ilmiah.
3.7. Analisis Efektivitas
Pengelolaan
Kajian mengenai efektivitas pengelolaan dilakukan pada
empat aspek pengelolaan kawasan konservasi yaitu:
Efektivitas
Perencanaan
Efektivitas perencanaan mengukur tiga kriteria umum
yaitu: (1) penetapan tujuan; (2) kepastian hukum, dan (3) desain tapak kawasan
konservasi. Efektivitas penetapan tujuan menilai sampai sejauh mana
tujuan penetapan kawasan konservasi
telah mencakup semua keunikan kawasan dan keperluan untuk mempertahankan
keunikan tersebut.
Efektivitas
Masukan Efektivitas masukan mengukur 4 kriteria umum yaitu:
(1) jumlah dan kualitas staff pengelola; (2) ketersediaan data dan komunikasi; (3)
ketersediaan infrastruktur; dan (4) kecukupan pendanaan pengelolaan.
Efektivitas
Proses
Efektivitas proses pengelolaan mengukur 3 kriteria
umum yaitu: (1) ketersediaan rencana detail strategi pengelolaan; (2) mekanisme
pengambilan keputusan; (3) kegiatan penelitian, pemantauan, dan evaluasi.
Keluaran Keluaran
pengelolaan kawasan konservasi adalah pencapaian didapatkan selama 2 tahun
terakhir melalui kerja keras staf, sukarelawan, dan masyarakat dalam mengelola
kawasan konservasi.
IV. HASIL DAN
PEMBAHASAN
4.1. Pengelompokan Kawasan Konservasi
Berdasarkan Jenis Ekosistem yang Dominan
Berdasarkan karakteristik masing-masing kawasan
konservasi pada Tabel 2 maka secara kualitatif pengelompokan dapat dilakukan
lebih detail berdasarkan tipe ekosistem yang mendominasi suatau kawasan
konservasi seperti berikut:
Tabel 2. Pengelompokan kawasan
konservasi berdasarkan tipe-tipe ekosistem lahan basah yang dominan.
Sumber : Hasil pengamatan praktik lapang
Teluk Tamiang 2016
Tabel 2 menunjukkan bahwa tiga ekosistem kawasan
konservasi yang menjadi subyek penelitian ini dapat dibedakan menjadi 4 kelompok
berdasarkan tipe ekosistem yang dominan. Setiap kelompok memiliki kebutuhan tersendiri
dalam pengelolaan kawasannya sehingga
pengelompokan ini selanjutnya akan dijadikan sebagai salah satu acuan dalam mengidentifikasi isu pengelolaan yang
penting beserta alternative pengelolaannya.
4.2. Karakteristik Biologi
Salah
satu dasar penetapan sebuah kawasan konservasi adalah berdasarkan karakteristik-karakteristik
biologisnya yang penting seperti kekayaan keanekaragaman hayati, keterwakilan
ekosistem, dan fungsi perlindungannya terhadap spesies-spesies terancam punah,
bernilai penting, dan khas. Secara
tradisional karakteristik ini mendominasi dasar penetapan hampir seluruh
kawasan konservasi dipesisir Teluk Tamiang. Karakteristik biologi yang menjadi
perhatian dalam penilaian efektivitas pengelolaan kawasan konservasi ini
dibedakan menjadi 10 macam seperti yang terlihat pada Gambar 6. Secara umum terlihat bahwa karakteristik
biologi yang paling menonjol pada kawasan konservasi adalah kandungan
keanekaragaman hayati, keterwakilan ekosistem, populasi minimum spesies, dan
keterwakilan skala keanekaragaman hayati. Karakteristik biologi yang paling rendah
nilai pentingnya adalah tipe ekosistem yang tersisa.
Gambar 6. Grafik nilai penting karakteristik biologis
kawasan konservasi di pesisir Teluk Tamiang.
Hasil penilaian di atas menunjukkan
bahwa sebagian besar kawasan konservasi menempatkan kandungan keanekaragaman
hayati sebagai bagian yang paling penting untuk menjadi
perhatian dalam pengelolaan kawasan konservasi.
Kandungan keanekaragaman hayati
dianggap lebih penting dibandingkan keberadaan spesies endemik atau spesies yang terancam punah. Hal ini masih wajar karena kawasan konservasi yang menjadi contoh dalam penelitian ini adalah pesisir
Teluk Tamiang yang peruntukannya sebagai
kawasan pelestarian alam, bukan kawasan suaka alam seperti cagar alam dan suaka margasatwa yang lebih ditujukan untuk
perlindungan floran dan fauna yang terancam
punah. Nilai biologis yang
tinggi yang disajikan pada Gambar 6 sebetulnya sejalan dengan hasil
survey-survey inventarisasi keanekaragaman hayati yang menunjukkan bahwa kandungan
keanekaragaman hayati lahan basah di pesisir Teluk Tamiang adalah salah satu
yang kaya akan ekosistem dan biotanya. Sekitar ± 250 spesies ikan dari 19.000
spesies yang ada di seluruh dunia bisa ditemukan di pesisir Teluk Tamiang. Sedangkan untuk amphibi, dari 4.200 spesies yang ada di seluruh dunia, sekitar ± 100 spesies bisa ditemukan di pesisir Teluk
Tamiang. Hasil analisis tersebut disajikan dalam Gambar 7 yang
memperlihatkan adanya 3 kelompok kawasan konservasi
yaitu kelompok dominant terumbu karang, kelompok kombinasi hutan pantai dan mangrove, dan kelompok dominan rawa dan
mangrove. Hasil analisis diskriminan
terhadap pengelompokan tersebut menunjukkan bahwa pembagian menjadi 3 kelompok sudah tepat berdasarkan data
yang tersedia.
Gambar 7. Pengelompokan kawasan konservasi berdasarkan
keanekaragaman
hayatinya.
Hasil pendekatan analisis gerombol yang disajikan
dalam Tabel 3 disarikan dari Gambar 7 yang memberikan gambaran yang sekilas terlihat berbeda
dengan pengelompokan
pada Tabel 2 sebelumnya. Meski demikian
jika diamati lebih dekat terlihat bahwa pada
dasarnya kedua pendekatan tersebut saling melengkapi dimana analisis gerombol
memperjelas kawasan konservasi yang dominan terumbu karang dan Mangrove sedang pengelompokan dalam Tabel 3 memperjelas
pengelompokan kawasan yang dominan mangrove.
Tabel 3. Pengelompokan kawasan
konservasi berdasarkan hasil analisis gerombol
terhadap kekayaan jenis
masing-masing kawasan
Pengelompokan
pada Tabel 2 yang saling melengkapi dengan pengelompokan Tabel 3 menunjukkan
bahwa secara umum kawasan konservasi lahan basah yang diamati dalam penelitian
ini terdiri dari 4 kelompok besar yaitu: kelompok mangrove, kelompok rawa
pesisir, kelompok terumbu karang, kelompok Lamun dan kelompok campuran terumbu
karang, dan mangrove. Oleh sebab itu pengelolaan kawasan konservasi di pesisir
Teluk Tamiang yang umumnya ditujukan
pada perlindungan fungsi-fungsi biologis sebaiknya dikembangkan
berdasarkan kebutuhan spesifik masing-masing kelompok yaitu: mangrove, rawa pesisir, terumbu karang, lamun dan
kombinasi beberapa tipe ekosistem.
4.3. Karakteristik Sosial Ekonomi
Karakteristik
lain yang menjadi perhatian dalam pengelolaan kawasan konservasi adalah nilai
penting sosial ekonomi. Karakteristik
ini baru disadari nilai pentingnya dalam 20-30 tahun terakhir sebab secara
tradisional penetapan suatu kawasan
konservasi awalnya lebih didasarkan pada nilai penting biologis. Munculnya berbagai persoalan yang mengiringi pengelolaan kawasan
konservasi yang ternyata bermuara pada isu sosial ekonomi membuat karakteristik
sosial ekonomi menjadi salah satu bagian penting dalam perencanaan pengelolaan
kawasan konservasi.
Gambar 8. Grafik nilai penting karakteristik sosial
ekonomi kawasan konservasi
Karakteristik sosial
ekonomi kawasan konservasi adalah karakteristik yang berkaitan langsung dengan
kehidupan masyarakat. Hasil penilaian
yang disajika dalam Gambar 8 menunjukkan bahwa secara umum nilai penting
karakteristik sosial ekonomi kawasan konservasi tidaklah begitu tinggi yaitu
umumnya di bawah nilai 4. Karakteristik
yang relatif tinggi adalah nilai ilmiah dan pendidikan, jasa ekosistem, satwa
penting, dan pemanfaatan lestari. Meski
demikian, saat ini para pengelola Kawasan konservasi mulai melihat kawasannya
sebagai sesuatu yang dapat memberikan keuntungan ekonomis terutama dari jasa
ekosistem atau pemanfaatan secara lestari.
Beberapa kawasan konservasi bahkan secara serius mengkomersilkan daya
tarik khasnya seperti yang terjadi di pesisir Teluk Tamiang. Karakteristik sosial ekonomi yang nilainya
kecil adalah sebagai penyedia pekerjaan.
Lokasi kawasan konservasi yang umumnya jauh dari pemukiman serta
adanya batasan untuk merambah kawasan konservasi merupakan salah satu penyebab minimnya
aktifitas untuk memanfaatkan kawasan konservasi secara ekonomis
4.4. Karakteristik Tekanan dan Ancaman
Tekanan merupakan kegiatan-kegiatan atau hal yang
telah berlangsung dan menimbulkan dampak buruk sedangkan ancaman merupakan
kegiatan atau hal yang mungkin menimbulkan dampak buruk. Terdapat 14 jenis karakteristik tekanan dan ancaman
terhadap kawasan konservasi yang menjadi perhatian dalam penelitian ini seperti
ditunjukkan dalam Gambar 9.
Gambar 9. Grafik tingkat tekanan dan ancaman dalam
pengelolaan kawasan
konservasi.
Pengelolaan karakteristik
sosial ekonomi dan biologi untuk menghasilkan keuntungan ekonomis dapat juga
menyebabkan kerusakan sumberdaya akibat terjadinya pemanfaatan berlebih ataupun
pemanfaatan yang ilegal. Tekanan dan
ancaman yang dianggap relatif kecil pada kawasan konservasi adalah perburuan
harta karun dan wisata. Tekanan dan
ancaman yang paling besar dalam pengelolaan kawasan konservasi adalah
pembalakan, perambahan kawasan, dan perburuan satwa. Hal ini sangat sulit untuk dihindari karena
permintaan yang tinggi terhadap satwa dan tumbuhan liar yang menyebabkan nilai
pasarnya menjadi sangat tinggi. Nilai
ekonomis dari perdagangan satwa liar yang tercatat di Departemen Kehutanan yang
nilainya tidak sampai Rp 150 miliar sebetulnya puncak dari gunung es. ProFauna, sebuah LSM yang bergerak dalam isu
perdagangan ilegal satwa liar, memperkirakan nilai perputaran uang dalam perdagangan ilegal satwa
liar mencapai Rp 9 trilliun pertahun dan sebagian satwa tersebut berasal dari
lahan basah pesisir seperti burung raja udang (Halcyon) dan penyu (Tempo
Interaktif, 2006). Pembalakan hutan mangrove, cenderung dominan di kawasan
konservasi yang memiliki wilayah upland seperti di pesisir Teluk Tamiang
daerah sebelah timur untuk jadikan lahan tambak budidaya. Meski pembalakan terjadi jauh ke wilayah
upland, akibatnya dapat berdampak langsung terhadap kualitas lahan basah
pesisir. Terbukanya tutupan ekosistem
hutan mangrove akan menyebabkan mudahnya terjadi erosi pada musim hujan yang
menyebabkan wilayah pesisir mengalami penurunan kualitas air. Tekanan dan
ancaman yang dihadapi oleh kawasan konservasi yang didominasi oleh ekosistem
laut seperti daerah sebelah barat dan selatan teluk karena pengelolaan yang
tidak terkoordinasi. Tekanan dan ancaman
lain yang lazim muncul adalah pemukiman dan penggunaan alat tangkap yang
destruktif.
4.5.
Kajian Efektivitas Pengelolaan
4.5.1. Perencanaan Kawasan
Terdapat
tiga kelompok utama yang menjadi penilaian dalam mengukur kekuatan perencanaan
kawasan konservasi yaitu: penetapan tujuan, kepastian hukum, dan desain
tapak. Ketiga kelompok tersebut terdiri
dari masing-masing 5 komponen penilaian.
Hasil penilaian terhadap ketiga kelompok utama perencanaan di 3 ekosistem
kawasan konservasi di pesisir Teluk Tamiang disajikan dalam Gambar 10.
Gambar
10. Grafik nilai berbagai komponen dalam
perencanaan kawasan konservasi
Gambar 10 menunjukkan bahwa semua kelompok penilaian
perencanaan kawasan konservasi yaitu penetapan tujuan, kepastian hukum, dan
desain tapak, masih relative lemah dimana nilai rata-rata keseluruhan aspek
lebih kecil dari 3. Secara umum nilai
perencanaan tujuan kawasan konservasi sudah relatif lebih baik dibandingkan
aspek kepastian hukum dan desain tapak.
Hal-hal yang masih perlu perhatian serius dalam penyusunan tujuan
kawasan konservasi adalah ketidak konsistenan rencana detail pengelolaan dengan
tujuan utama yang ingin dicapai, pemahaman staf terhadap tujuan pengelolaan dan
dukungan masyarakat masih lemah.
Ditinjau dari aspek kepastian hukum hampir semua komponen yang diamati
belum sesuai dengan harapan yaitu masih seringnya muncul klaim atas sumberdaya,
tata batas yang tidak jelas, dan konflik yang tidak terselesaikan. Aspek perlindungan hukum yang menunjukkan
nilai relatif tinggi pada Gambar 10. lebih mengacu pada adanya dasar hukum
pembentukan kawasan, tapi hal ini tidak didukung oleh aspek lain. Komponen-komponen dalam kelompok desain tapak
yang sudah relatif lebih baik adalah komponen kesesuaian tempat dan komponen lay
out kawasan konservasi. Sedangkan
zonasi, pemanfaatan sekitar kawasan, dan keterkaitan dengan kawasan lain masih
relatif lemah. Aspek perencanaan dalam
mengelola kawasan konservasi adalah hal yang mengawali sukses tidaknya
pengelolaan kawasan konservasi. Lemahnya
aspek perencanaan kawasan konservasi yang ditemukan dalam penelitian ini
menunjukkan pentingnya pemerintah dan pemangku kepentingan untuk kembali menata
ulang rencana-rencana strategis pengelolaan kawasan konservasi yang telah ada
saat ini.
4.5.2. Masukan
Aspek
masukan dalam kegiatan pengelolaan kawasan konservasi adalah segala hal yang
dibutuhkan dalam proses pengelolaan untuk membantu mencapai tujuan-tujuan
pengelolaan. Terdapat empat kelompok
komponen penilaian yang menjadi perhatian dalam menilai kekuatan “masukan”
dalam pengelolaan kawasan konservasi yaitu: pegawai, komunikasi, infrastruktur,
dan keuangan. Nilai masing-masing
kelompok tersebut beserta komponen-komponennya disajikan dalam gambar berikut.
Gambar 11. Grafik nilai berbagai komponen masukan dalam
pengelolaan kawasan Konservasi
Gambar 11 menunjukkan bahwa tidak satupun dari 20
komponen masukan dalam pengelolaan kawasan konservasi yang telah memadai
(nilai>3) untuk mendukung pencapaian
tujuan-tujuan pengelolaan kawasan konservasi.
Kelompok komponen yang memperoleh nilai
paling lemah adalah kelompok infrastruktur. Sedangkan kelompok komponen yang relatif lebih baik dibanding
kelompok lain adalah kelompok pegawai. Dua komponen yang
paling lemah dari 20 komponen yang diamati sebagai “modal” suksesnya
pengelolaan kawasan konservasi adalah kondisi kerja bagi staf dan perawatan
terhadap peralatan. Komponen yang
relatif lebih baik dibandingkan dengan yang
lain adalah komunikasi dengan masyarakat. Gambaran ini
menunjukkan bahwa kebutuhan akan komponen-komponen masukan sumberdaya manusia,
sarana komunikasi, infrastruktur, dan keuangan masih sangat tinggi. Hal ini menjadi sangat penting karena belum
terdapat pertumbuhan nyata alokasi keuangan pada lembaga-lembaga pemerintah
yang menangani isu konservasi. Meski secara perlahan Departemen Kehutanan
mulai menanamkan pemahaman konservasi yang lebih dini pada staf-staf barunya
dengan memagangkan semua staf baru di
kawasan-kawasan konservasi di pesisir Teluk Tamiang.
4.5.3. Keluaran
Penilaian
terhadap keluaran dalam siklus pengelolaan kawasan konservasi ditujukan untuk
mengetahui apakah selama dua tahun terakhir keluaran tersebut konsisten untuk
mencapai tujuan-tujuan umum pengelolaan, perencanaan kerja tahunan, dan
kesesuaiannya dalam menghadapi tekanan dan ancaman yang dialami kawasan konservasi. Terdapat 10 komponen keluaran dalam siklus
pengelolaan mencakup isu-isu sosial, ekonomi, biologi, dan kelembagaan
pengelola seperti disajikan dalam Gambar 12.
Gambar 12. Grafik nilai
keluaran dalam pengelolaan kawasan konservasi
Hasil penilaian terhadap keluaran yang diperoleh dari
pengelolaan kawasan konservasi di pesisir Teluk Tamiang menunjukkan bahwa
hampir semua komponen keluaran masih jauh dari memuaskan (nilai<3, Gambar 12). Hasil yang paling lemah adalah upaya
restorasi, pengelolaan pengunjung, dan pengembangan infrastruktur. Sedangkan komponen keluaran yang relatif
lebih baik adalah peningkatan kepedulian.
V. PENUTUP
5.1.
Kesimpulan
1.
Kawasan konservasi yang dikaji dalam penelitian di pesisir Teluk Tamiang
umumnya memiliki nilai penting biologis dan sosial ekonomis yang tinggi. Beberapa diantara kawasan tersebut juga
mengalamai tekanan dan ancaman yang tinggi meski dalam intensitas yang
berbeda-beda. Tekanan dan ancaman yang
paling besar dihadapi kawasan konservasi adalah perambahan, pembalakan, dan
perburuan satwa liar.
2.
Sebagian
besar kawasan konservasi belum efektif dalam melakukan pengelolaan yang ditandai oleh
kondisi perencanaan terutama landasan hukum dan desain tapak kawasan yang masih
lemah, kekurangan masukan terutama infrastruktur dan keuangan khususnya di kawasan pesisir Teluk Tamiang, kelemahan
proses pelaksanaan rencana terutama pada
komponen monitoring evaluasi khususnya penelitian
isu sosial ekonomi.
3.
Pengelolaan kawasan konservasi membutuhkan dua strategi prioritas pengelolaan
yaitu strategi pengelolaan kondisi internal yang berkaitan dengan peningkatan
kapasitas pengelola dan strategi kondisi eksternal yaitu pengembangan kegiatan
kolaboratif untuk menurunkan tekanan dan ancaman. Strategi ini masih cenderung berupa strategi
makro yang merupakan ciri rekomendasi RAPPAM.
Penyusunan rekomendasi strategi pengelolaan ditingkat meso yaitu untuk
kelompok kawasan konservasi dengan tipe ekosistem tertentu harus disesuaikan
dengan kondisi khusus masing-masing ekosistem seperti Terumbu karang, rawa
pesisir, ekosistem mangrove dan lamun.
5.2. Saran
Perlu
senantiasa dilakukan pemutakhiran data ekologi, sosial ekonomi, dan hasil
analisisnya untuk mengetahui status terkini kawasan konservasi di Indonesia,
peluang pemanfaatan secara bijaksana dan berkelanjutan agar dapat dilakukan
pengelolaan yang lebih efektif.
DAFTAR PUSTAKA
Abbot TE, 2003. An
Assesment of 16 Governance Indicator for the Bird Island Sanctuary,
Commonwealth of the Northen Mariana Island. Marine Protected Area Management
Initiative. IUCN/WCPA. WWF. NOAA.
Belfiore S, et al.
2003. A Reference Guide on the Use of Indicator for Integrated Coastal
Management. ICAM Dossier 1. IOC Manual Guides and Reference No 45. UNESCO 2003.
Bappenas. 2004.
Indonesia Biodiveristy Strategy and Action Plan, IBSAP. Bappenas.
Jakarta.
Butler RA. 2007.
Deforestation in Amazon. Rainforest Information. MONGABAY.COM. http://www.mongabay.com/brazil.html. [20 Juli
2007]
Dunn WN. 2003.
Pengantar Analisis Kebijakan Publik (terjemahan). Gajah Mada University Press.
Yogyakarta.
Departemen Kehutanan.
2005. Statistik Kehutanan Indonesia. Departemen Kehutanan.
http://www.dephut.go.id/informasi/statistik/2005/PHKA.
[1 Des 2006]
Ervin J. 2003. Rapid
Assesment and Prioritization of Protected Area Management (RAPPAM) Methodology
. World Wild Fund for Nature. Gland,
Switzerland.
Forestry Institute and
Forestry Foundation of Sao Paulo. 2005.
Implementation of Rapid Assesment and Prioritization of Protected Area
Management by the Forestry Institute and Forestry Foundation of Sao Paulo. World Wild Fund for Nature. Brazil.
Furukawa H. 1994.
Coastal Wetlands of Indonesia: Environment, Subsistence, and Exploitation. Kyoto University Press. Japan.
Goodman PS. 2003.
Assessing Management Effectivenes and Setting Priorities in Protected Areas in
KwaZulu-Natal. American Institute of
Biological Science. WWF. Gland Switzerland.
Hehanussa PE, Haryani
GS. 2001. Kamus Limnologi (Perairan
Darat). IHP, UNESCO, LIPI
Hockings, M., S.
Stolton, F. Leverington, N. Dudley, J. Courrau. 2006. Evaluating Effectiveness: A Framework for Assessing Management
Effectivenes of Protected Area 2 Edition. IUCN, Gland, Switzerland and
Cambridge, UK.
IUCN. 1994. Guidelines for Protected Area Management
Categories. CNPPA with the assistance of WCMC. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge,
UK.
Komite Nasional
Pengelolaan Lahan Basah, 2004. Strategi
Nasional Pengelolaan Lahan Basah.
Kementerian Lingkungan Hidup.
Jakarta.
Lacerda L, Schmitt K,
Cutter P, Meas S. 2004. Management Effectivenes Assessment
of the System of Protected
Areas in Cambodia using WWF’s RAPPAM Methodology. Ministry of Environment, Biodiversity
and Protected Area Management Project, Phnom Penh. Cambodia.
Ludwig JA, Reynolds JF.
1988. Statistical Ecology. A Primer on Methods and Computing. John Wiley & Sons. New York.National Wetlands
Committe (NWC) for SCS Project.
2004. Final Report Coastal Wetlands
Subcomponent of Indonesia. South China
Sea Project. WI–IP.
Pusat Kajian Sumberdaya
Pesisir dan Lautan dan Lembaga Ilmu PengetahuanIndonesia 2000. Konsep Kebijakan dan Strategi Nasional
Pengelolaan Terumbu Karang Indonesia. Jakarta. Ramsar Convention. 2006. www.ramsar.org [27
April 2007]
Rahmiyati. 2006. Social
Forestry di Hutan Lindung. http://www.indomedia.com/ bpost/112006/9/opini/
opini2.htm. [27 April 2007]
Staub F, Hatziolos ME,
2004. Score Card to Assess Progress in Achieving Management Effectivennes Goals
for Marine Protected Areas. The World Bank.
Tempo Interaktif. 2006.
Pemerintah diminta naikkan anggaran konservasi. http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2006/02/17/brk,2006021774079,id.html.[6
Juni 2006]
Tempo Interaktif. 2006.
Omzet Perdagangan Satwa Liar Ilegal Rp 9 Trilyun/tahun. http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2006/01/19/brk,2006011972553,id.htm.[6
Juni 2006]
United States
Environmental Protection Agency (EPA). 2002.
Electronic Clean water Act “Snapshot”.
http://www.epa.gov/region5/water/cwa.htm. [10 April 2005]
United Nations
Environment Programme (UNEP). 2004. Reversing Environmental Degradation Trends
in the South China Sea and Gulf of Thailand. Report of the Fourth Meeting of
the Regional Working Group for the Wetlands Sub Compoent. UNEP/GEF Bangkok.
Warner
BG, Rubec CDA, ed.
1997. The Canadian Wetland
Classification System. Wetlands Research Centre, University of Waterloo. Waterloo.
|